Jumat, 17 April 2015

CEDERA KEPALA




1. DEFINISI CEDERA KEPALA
cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

2. PATOFISIOLOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian.

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.

Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP - ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
 
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan Membran Sel

Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat dihentikan.
 
3. PATOLOGI
Dari gambarannya (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan menjadi fokal dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul bersamaan. Alternatif yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer (terjadi sebagai dampak) dan sekunder (munculnya kerusakan neuronal yang menetap, hematoma, pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi).
 
KERUSAKAN FOKAL
1. Kontusio kortikal dan laserasi
Kontusio kortikal dan laserasi bisa terjadi di bawah atau berlawanan (counter-coup) pada sisi yang terkena, tapi kebanyakan melibatkan lobus frontal dan temporal. Kontusio biasanya terjadi multiple dan bilateral. Kontusio multiple tidak depresi pada tingkat kesadaran, tapi hal ini dapat terjadi ketika perdarahan akibat kontusio memproduksi ruang yang menyebabkan hematoma.
2. Hematoma intracranial
Perdarahan intracranial dapat terjadi baik di luar (ekstradural) maupun di dalam dura (intradural). Lesi intradural biasanya terdiri dari campuran dari hematoma subdural dan intraserebral, walaupun subdural murni juga terjadi. Kerusakan otak bisa disebabkan direk atau indirek akibat herniasi tentorial atau tonsilar.
3. Intraserebral (Burst lobe)
Kontusio di lobus frontal dan temporal sering mengarah pada perdarahan di dalam substansia otak, biasanya dihubungkan dengan hematoma subdural yang hebat.
“Burst Lobe” adalah definisi yang biasanya digunakan untuk menerangkan penampakan dari hematoma intraserebral bercampur dengan jaringan otak yang nekrotik, ruptur keluar ke ruang subdural.
4. Subdural
Pada beberapa pasien, dampaknya bisa mengakibatkan ruptur hubungan vena-vena dari permukaan kortikal dengan sinus venosus, memproduksi hematoma subdural murni dengan tidak adanya bukti mendasar adanya kontusio kortikal atau laserasi.
5. Ekstradural
Fraktur cranii merobek pembuluh darah meningeal tengah, mengalir ke dalam ruang ekstradural. Hal ini biasanya terjadi pada regio temporal atau temporoparietal. Kadang-kadang hematoma ekstradural terjadi akibat kerusakan sinus sagital atau transvesal.
6. Herniasi tentorial/tonsillar (sinonim: “cone”)
Tidak seperti tekanan intrakranial tinggi yang secara direk merusak jaringan neuronal, tapi kerusakan otak terjadi sebagai akibat herniasi tentorial atau tonsillar.
Peningkatan tekanan intrakranial yang progresif karena hematoma supratentorial, menyebabkan pergeseran garis tengah (mid line). Herniasi dari lobus temporal medial sampai hiatus tentorial juga terjadi (herniasi tentorial lateral), menyebabkan kompresi dan kerusakan otak tengah..
Herniasi tentorial lateral yang tidak terkontrol atau pembengkakan hemispheric bilateral difus akan mengakibatkan herniasi tentrorial central.
Herniasi dari tonsil serebellar melalui foramen magnum (herniasi tonsillar) dan berikut kompresi batang otak bawah bisa diikuti herniasi tentorial central atau yang jarang terjadi, yaitu traumatik posterior dari fossa hematoma.
 
KERUSAKAN DIFUS 
1. Diffused Axonal Injury (DAI)
Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam, kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan influĂ­s Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dengan adanya gen APOE 4, dapat memainkan peranan dalam hal ini. Tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian.
DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian. Dalam proses biomekanis, DAI terjadi karena adanya proses deselerasi yang menyebabkan syringe trauma (tergunting) karena adanya gaya yang simpang siur.
2. Iskemia serebral
Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya ”autoregulasi”, terbukti adanya vasodilatasi serebral.
Setelah cedera kepala, bagaimanapun juga sistem autoregulasi sering tidak sempurna/cacat dan hipotensi bisa menyebabkan efek yang drastis. Kelebihan glutamat dan akumulasi radikal bebas juga bisa mengkontribusikan kerusakan neuronal. Penyebab lain iskemia serebral adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.
Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion basalis dan batang otak.
 
4. GAMBARAN KLINIS
Assesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score.
Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan respon motor terbaik.

Glasgow Coma Scale (Dewasa)
Respon Mata Terbaik (4)
4. Mata membuka spontan
3. Mata membuka dengan perintah verbal
2. Mata membuka dengan rangsang nyeri
1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)
5. Terorientasi baik
4. Bingung / disorientasi
3. Kata-kata tidak tepat
2. Suara-suara yang tidak bisa dipahami
1. Tidak ada respon verbal

Respon Motorik Terbaik (6)
6. Mematuhi perintah
5. Melokalisasi rasa nyeri
4. Menghindari nyeri
3. Fleksi terhadap nyeri
2. Ekstensi terhadap nyeri
1. Tidak ada respon motorik

Glasgow Coma Scale (Pediatric)
Respon Mata Terbaik (4)
4. Mata membuka spontan
3. Mata membuka dengan perintah verbal
2. Mata membuka dengan rangsang nyeri
1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)
5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan.
4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan
3. Menangis tidak tepat
2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih
1. Tidak ada respon vokal

Komunikasi dengan infant atau anak-anak diperlukan perhatian yang seksama untuk menentukan respon verbal terbaik yang sesuai. ”Grimace” adalah alternatif dari respon verbal, harus digunakan untuk pre-verbal atau pasien-pasien intubasi.


Grimace Response (5)
5. Facial normal spontan/aktifitas oro-motor
4. Kurang dari kemampuan spontan biasa atau hanya respon untuk menyentuh stimuli
3. Menyeringai dengan semangat pada nyeri
2. Menyeringai ringan pada nyeri
1. Tidak ada respon pada nyeri

Respon Motor Terbaik (6)
6. Mematuhi perintah atau menunjuukan gerakan spontan normal
5. Melokalisasi rangsang nyeri atau menghindari untuk menyentuh
4. Menghindari rangsang nyeri
3. Fleksi abnormal pada nyeri (decorticate)
2. Ekstensi abnormal pada nyeri (decerebrate)
1. Tidak ada respon pada nyeri

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klini.

5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramter.
* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).
- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
b. Keparahan cedera.
* Ringan : skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15
* Sedang : GCS 9-13
* Berat : GCS 3-8
c. Morfologi
Fraktur tengkorak kraniium linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup
basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan
nervus VII
Lesi intracranial fokal epidural, subdural, intraserebral.
difus konkusi ringan, konkusi klasik, cedera
aksonal difus.

6. DIAGNOSIS
2.6.1. Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah).
Indikasi Rawat Inap :
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama periode tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.
Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman.
 
7. PEMERIKSAAN 
 1. Pemeriksaan Fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien.
Status fungsi vital
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
• Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
• Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran.
• Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

- Status kesadaran pasien

Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik.

- Status neurologis
Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis..
Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.

2. Pemeriksaan Penunjang
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

8. PENANGGULANGAN PERAWATAN
Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan kesembilan aspek sebagai berikut.
1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.
2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan.
3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.
4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.
5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi.
6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk mencegah keratitis.
7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan, yang justru akan menaikkan tekanan intrakranial.
8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan kenaikan tekanan darah serta memperberat edem otak.

Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa, dan mengundang terjadinya sepsis.

9. PENATALAKSANAAN
Pedoman resusitasi dan penilaian awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
   • Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
   • Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
   • Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.
   • Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
   • Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.
   • Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
   • Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
   • Konkusi
   • Amnesia pasca-trauma
   • Muntah
  • Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)
   • Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
   • Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
   • Penurunan derajat kesadaran secara progresif
   • Tanda neurologist fokal
   • Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

Pedoman umum penatalaksanaan:
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur :
- pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri.
- Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.
 
10. PENGOBATAN
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
• Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 25­30 mmHg.
• Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 10­15% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,5­1 g/kgBB dalam 10­30 menit.
• Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
• Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
• Pada 24­48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500­2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan.
 
11. PROGNOSIS
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.
Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.
 
12. KEGAWATDARURATAN CEDERA KEPALA
1. KOMOSIO SEREBRI
Komosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin mutah, tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak.
Pada komosio serebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian antaranya di daerah lobus temporalis.
Pemeriksaan yang selalu dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapinya simptomatis dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang.
2. EDEMA SEREBRI TRAUMATIK
Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada pemeriksaan neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meingkat.
Pada petinju mungkin terjadi keadaan grogi dengan kesadaran yang menurun ringan, tampak seperti linglung, gerakan tidak teratur, tidak efisien, kurang cepat, keseimbangan sedikit terganggu, mungkin hanay mengeluh sedikit nyeri kepala dan pusing. Keadaan demikian dapat berlangsung sebebntar atau hingga berhari-hari. Pada keadaan ini batang otak mengalami edema. Setelah membaik, penderita tidak ingat dengan baik apa yang telah dialaminya.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan yang diperlukan sama dengan komosio serebri, bila mungkin ditambah dengan CT-Scan kepala. Terapi hanya istirahat dan simptomatis.
3. KONTUSIO SEREBRI
Pada kontusio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi, kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan occipital selain ditempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.
Lesi kedua ini disebu lesi kontra benturan (contra-coup). Perdarahan mungkin pula terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini, dan ada permukaan bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat benturan ini.
Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung 6 jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu dijumpai defisit neurologik neurologik yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subarakhnoidal atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial.
Tekanan intra kranial yang meninggi menimbulakan gangguan mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang erakhir dengan kematian bila tidak diputus.
Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon, pernapasan biasa atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigidiras deserebrasi dengan keempa ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.
Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila medulla oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian.
Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan adalah: foto Rontgen polos, bila mungkin CT-Scan, EEG, pungsi lumbal. 
Terapi:
Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk mencegah menigginya tekanan intra kranial.
a. usahakan jalan napas yang lapang dengan:
- membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan
- melonggarkan pakaian yang ketat
- menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung
- untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan
- bila perlu pasang pipa endotrakeal atau lakukan trakeotomi
- O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi
b. hentikan perdarahan
c. bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi
d. letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak mengganggu jalan napas
e. berikan profilaksis antibiotik bila ada luka-luka yang berat
f. bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga keesokan harinya.
Pada hari I pemberian infus diberikan 1,5 liter cairan / hari, yang 0,5 liter adalah NaCl 0.9%. Bila digunakan glukosa, pakailah yang 1% untuk mencegah menghebatnya edema otak dan kemungkinan timbulk=nya edem pulmonum.
Setelah hari ke IV jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter / 24 jam. Bila bising usus sudah terdengar, dapat diberi makanan cair per sonde.
g. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan mannitol 20% dalam infus sebanyak 250cc dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.
h. Furosemid intramuskular 20mg per 24 jam, selain meningkatkan diuresis berkhasiat juga mengurangi pembentukan cairan otak.
i. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut:
Hari I : 10mg iv diikuti 5mg tiap 4 jam
Hari II : 5mg iv tiap 6 jam
Hari III: 5mg iv tiap 8 jam
Hari IV: 5mg im tiap 12 jam
Hari V : 5mg im
j. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal ialah PCO2 sekitar 42mmHg dan PO2 diatas 70mmHg.
Selanjutnya ialah perawatan dalam keadaan koma.
4. EPIDURAL HEMATOMA
Pada hematom epidural terjadi perdarahan diantara tengkorak dan duramater akibat robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Arteri terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.
Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada sisi kontra lateral dari benturan timbul gejala-gejala terganggunya traktus kortikospinalis, misalnya reflek tendo tinggi, reflek patologis positif dan hemiparese. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontra lateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkanreaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Ciri khas pada epidural hematoma murni adalah terdapatnya interval bebas antara dua penurunan kesadaran yang disebut lucid interval. Jika epidural hematoma disertai cedera otak seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur. 
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency dalam bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat. Duramater melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak yang memudahkan terjadinya herniasi trans dan infra tentorial, sehingga jika penanganan terlambat maka pasien dapat meninggal.
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur yang terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematoma. Bila memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan.Penanganan untuk epidural hematoma:
a. Penanganan darurat: dengan trepanasi sederhana (boor hole) atau kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma
b. Indikasi operasi dibidang bedah saraf: untuk life-saving dan untuk functional saving. Indikasi life-saving adalah jika lesi desak ruang bervolume >5cc (desak ruang thalamus), >10cc (desak ruang infra tentorial) dan >25cc (desak ruang supra tentorial).
c. Indikasi evakuasi: efek massa yang signifikan yaitu penurunan klinis, efek massa dengan volume >20cc dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif atau jika tebal EDH >1cm dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif
5. SUBDURAL HEMATOMA
Subdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena dalam ruang subarakhnoid. Pembesaran hematoma kerana robeknya vena akan memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.
Subdural hematoma dibagi menjadi hematoma subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai ketiga, subakut bila timbula antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronis apabila timbul sesudah minggu ketiga.
Subdural hematoma akut secara klinis sukaar dibedakan dengan epidural hematoma yang berkembang lambat. Subdural hematoma akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau dementia.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Subdural hematoma yang besar memberi gejala seperti hematom epidural. Pada perdarahan yang ringan memberi gejala permulaan yang ringan dan setelah beberapa waktu secara perlahan gejala menjadi berat dan sifatnya progresif.
- Nyeri kepala hebat, muntah.
- Gangguan penglihatan karena edem dari papil N II.
- Pada sisi kontralateral hematom terdapat gangguan traktus piramidalis.
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu dengan Rontgen tengkorak AP-Lateral dengan sisi daerah trauma pada film. Jika memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan dan EEG. Pada CT-Scan akan terlihat gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika disertai kontusio serebri akan tampak pula bercak-bercak hiperdens di parenkim otak (salt and pepper). Pungsi lumbal tidak dilakukan karena tekanan intra kranial yang tinggi dapat menimbulkan herniasi tentorial.
Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematoma.
Karena subdural hematoma sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan dengan epidural hematoma, prognosisnya lebih jelek.
6. SUBARAKHNOID HEMATOMA
Perdarahan terjadi di rongga subarachnoid, sering menyertai kontusio serebri. Pada pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah. Cairan serebrospinal yang berdarah tersebut dapat merangsang selaput otak sehingga timbul kaku kuduk. Penatalaksanaan seperti pada kontusio serebri.
7. KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTU
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang.
Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
1. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.
Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan pada lobus frontalis dapat mengakibatkan kelainan yang berhubungan dengan hal ikhwal tingkah laku (kurang kontrol, agresif, anti-sosial), dementia, gerakan halus yang kurang lancar, gerakan yang kurang ritmis, dan afasia.
2. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.
Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.
Kerusakan pada lobus parietalis dapat mengakibatkan apraksia, agnosia, disorientasi, gangguan body image, emiparesis, hemihipestesia dan hemianopsia.
3. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

13. KELAINAN-KELAINAN AKIBAT CEDERA KEPALA 
1. EPILEPSI PASCA TRAUMA
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.
Kejang terjadi padda sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. AFASIA
fasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
Gangguan bahasa bisa berupa:
-  Aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis
- Anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan nama-nama benda. Beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang tepat, sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam fikirannya, tetapi tidak mampu mengucapkannya.
Disartria merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan otot-otot yang digunakan untuk menghasilkan suara atau mengatur gerakan dari alat-alat vokal.
Afasia Wernicke merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan pada lobus temporalis. Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang keluar kacau (disebut juga gado-gado kata). Penderita menjawab pertanyaan dengan ragu-ragu tetapi masuk akal.

Pertanyaan : Ini gambar apa? (anjing mengonggong)
Jawaban : A-a-an-j-j-, eh bukan, a-a..aduh..b-b-bin, ya binatang, binatang..b-b..berisik

Pada afasia Broca (afasi ekspresif), penderita memahami arti kata-kata dan mengetahui bagaimana mereka ingin memberikan jawaban, tetapi mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata keluar dengan perlahan dan diucapkan sekuat tenaga, seringkali diselingi oleh ungkapan yang tidak memiliki arti. Penderita menjawab pertanyaan dengan lancar, tetapi tidak masuk akal.

Pertanyaan : Bagaimana kabarmu hari ini?
Jawaban : Kapan? Mudah sekali untuk melakukannya tapi semua tidak terjadi ketika matahari terbenam.

Tabel: Jenis Afasia
Penetapan berdasarkan kemampuan

Bicara spontan Pengertian berbahasa Pengulangan kata / kalimat Penyebutan nama benda
Wernicle
Broca
Konduksi
Global
Anomi Lancar
Tak lancar
Lancar
Tak lancar
Lancar Buruk
Baik
Baik
Buruk
Baik Buruk
Buruk
Buruk
Buruk
Baik Buruk
Buruk
Baik
Buruk
Buruk


Dasar lancar dan tak lancar ialah :
Anterior (Broca) Posterior (Wernicle)
Laju curahan
Upaya
Aliran wicara
Isi
Panjang frase
Parafasia Berkurang
Meningkat
Berkurang
Substantif
Pendek
Jarang ada Normal / meningkat
Normal
Meningkat (logorea)
Gramatikal
Panjang
Ada: ketiga tipe
 
3. APRAKSIA
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.
Ingatan akan serangkaian gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang rumit hilang; lengan atau tungkai tidak memiliki kelainan fisik yang bisa menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat dilakukan.
Jenis-jenis apraksia ada 5 yaitu apraksia ideal, apraksia ideomotorik, apraksia kinetik, dressing apraksia, dan apraksia konstruksi.
Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. AGNOSIA
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut, atau dengan kata lain ketidakmampuan untuk mengenal dan menginterpretasi rangsang indera.
Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah cedera kepala atau stroke.
Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
.5. AMNESIA
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.
Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).
Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis.
Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Serangan berlangsung selama 30 menit sampai 12 jam atau lebih.
Arteri kecil di otak mungkin mengalami penyumbatan sementara sebagai akibat dari aterosklerosis. Pada penderita muda, sakit kepala migren (yang untuk sementara waktu menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak) bisa menyebabkan anemia menyeluruh sekejap. Peminum alkohol atau pemakai obat penenang dalam jumlah yang berlebihan (misalnya barbiturat dan benzodiazepin), juga bisa mengalami serangan ini.
Penderita bisa mengalami kehilangan orientasi ruang dan waktu secara total serta ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya.
Setelah suatu serangan, kebingungan biasanya akan segera menghilang dan penderita sembuh total.
Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama. Kedua hal tersebut terjadi karena kelainan fungsi otak akibat kekurang vitamin B1 (tiamin). Mengkonsumsi sejumlah besar alkohol tanpa memakan makanan yang mengandung tiamin menyebabkan berkurangnya pasokan vitamin ini ke otak. Penderita kekurangan gizi yang mengkonsumsi sejumlah besar cairan lainnya atau sejumlah besar cairan infus setelah pembedahan, juga bisa mengalami ensefalopati Wernicke.
Penderita ensefalopai Wernicke akut mengalami kelainan mata (misalnya kelumpuhan pergerakan mata, penglihatan ganda atau nistagmus), tatapan matanya kosong, linglung dan mengantuk. Untuk mengatasi masalah ini biasanya diberikan infus tiamin. Jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Jika serangan ensefalopati terjadi berulang dan berat atau jika terjadi gejala putus alkohol, maka amnesia Korsakoff bisa bersifat menetap. Hilangnya ingatan yang berat disertai dengan agitasi dan delirium.
Penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari, bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya.
Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut. Pemberian tiamin kepada alkoholik kadang bisa memperbaiki ensefalopati Wernicke, tetapi tidak selalu dapat memperbaiki amnesi Korsakoff. Jika pemakaian alkohol dihentikan atau penyakit yang mendasarinya diobati, kadang kelainan ini menghilang dengan sendirinya.
 
 
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16PenatalaksanaanFaseAkut077.html
2. Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
3. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
4. Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support), Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.
5. Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.
6. http://www.fleshandbones.com/readingroom/pdf/883.pdf
7. http://www.boa.ac.uk/PDF%20files/NICE/NICE%20head%20injury%20guidelines.pdf
8. Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.
9. Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com
10. McDonald, D.K., 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com
11. Wagner, A.L., 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com
12. Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com

FRAKTUR


FRAKTUR

Laporan Pendahuluan Fraktur

A.    PENGERTIAN FRAKTUR
 §  Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).
 §  Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2002).
 §  Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan, terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2003).
 §  Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).
 §  Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
 §  Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).


B.     KLASIFIKASI
Klasifikasi fraktur secara umum :
1.       Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
             2.       Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a.       Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
b.      Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3.       Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a.       Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b.      Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c.       Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
4.       Berdasarkan posisi fragmen :
a.       Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b.      Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen
            5.      Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a.       Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1)    Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2)    Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3)   Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4)    Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
b.      Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1)    Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2)    Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
3)    Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
6.      Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a.       Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b.    Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c.     Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d.     Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e.      Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang..
 7.       Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a.       Tidak adanya dislokasi.
b.       Adanya dislokasi
§  At axim : membentuk sudut.
§  At lotus : fragmen tulang berjauhan.
§  At longitudinal : berjauhan memanjang.
§  At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
              8.      Berdasarkan posisi frakur
   Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
       a.       1/3 proksimal
       b.      1/3 medial
       c.       1/3 distal
              9.      Fraktur Kelelahan       : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
             10.    Fraktur Patologis         : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
 Tipe Fraktur
  Gambar 1. Tipe Fraktur
C.    ETIOLOGI
1.      Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2.      Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3.      Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
4.      Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.


D.    ANATOMI FISIOLOGI FRAKTUR
  1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang   dapat   diklasifikasikan   dalam   lima   kelompok   berdasarkan   bentuknya :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus)  terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularisKanalis medularis berisi sumsum tulang.
b.   Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
c.      Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellous.
d.      Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
e.  Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut).
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear ( berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang.
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna  Howship (cekungan pada permukaan tulang).
Anatomi tulang panjang
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan 70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan darah.
Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklasOsteoklas adalah sel fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steoblas mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih kuat.
Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas biasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteoklas dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon.
Faktor-faktor yang mengontrol Aktivitas osteoblas dirangsang oleh olah raga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fraktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormon perturnbuhan adalah promotor kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh dengan merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang.
Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang.
Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh hormon paratiroidHormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormon paratiroid meningkat sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik negatif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas.
Efek lain Hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbentukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum.
  1. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a.       Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b.       Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jaringan lunak.
c.       Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan pergerakan).
d.     Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topoiesis).
e.       Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.
E.     PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya 
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
     1.      Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
     2.      Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Pathway Fraktur

 







F.   MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
  1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
  2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
  3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
  4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
  5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
  1. X-RAY dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
  2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
  3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
  4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
  5. Pemeriksaan Darah Lengkap

Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.

 H.    KOMPLIKASI
1.      Komplikasi Awal
a.       Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.      Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c.       Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d.      Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.       Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban
f.       Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g.      Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
2.      Komplikasi Dalam Waktu Lama
a.       Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b.      Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi,  cacat diisi  oleh  jaringan  fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
c.       Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

I.       STADIUM PENYEMBUHAN FRAKTUR
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
     1.      Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 
stadium penyembuhan tulang
     2.      Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.  
stadium penyembuhan tulang
     3.      Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu. 
stadium penyembuhan tulang
  
     4.      Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan  osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 
stadium penyembuhan tulang
     5.      Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
stadium penyembuhan tulang
Fase Penyembuhan Tulang
Gambar 9.Fase Penyembuhan Tulang

J.      PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1.      Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
§  Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
Pembidaian


§  Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
o   Immobilisasi dan penyangga fraktur
o   Istirahatkan dan stabilisasi
o   Koreksi deformitas
o   Mengurangi aktifitas
o   Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
o   Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
o   Gips patah tidak bisa digunakan
o   Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
o   Jangan merusak / menekan gips
o   Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
o   Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama

Gips


           2.      Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a.       Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
§  Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
§  Traksi mekanik, ada 2 macam :
o   Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
o   Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
§  Mengurangi nyeri akibat spasme otot
§  Memperbaiki & mencegah deformitas
§  Immobilisasi
§  Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
§  Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
§  Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
§  Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan
§  Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
§  Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
§  Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
Traksi
b.      Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang.
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
§  Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
§  Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada didekatnya
§  Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
§  Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
§  Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan

1)      FIKSASI INTERNA

Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko infeksi.
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang dan rotasi.
Fiksasi internal

2)      FIKSASI EKSTERNA

Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang. Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga cocok untuk tindakan ini.
Fiksasi eksternal

    3.      Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
    4.      Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.

K.    PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1.      Pengumpulan Data
a.       Anamnesa
1)      Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2)        Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a)      Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b)      Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c)      Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d)     Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e)      Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3)      Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5)      Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6)      Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7)      Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a)      Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b)      Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c)      Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d)     Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e)      Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
f)       Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g)      Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h)      Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i)        Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
  j)        Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
b.      Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1)      Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a)      Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1)   Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2)   Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3)   Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b)      Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1)         Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2)         Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(3)         Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4)         Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(5)   Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7)         Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8)         Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9)         Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10)     Paru
(a)    Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(b)   Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c)    Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d)   Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11)     Jantung
(a)    Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b)   Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c)    Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12)     Abdomen
(a)    Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b)   Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c)    Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d)   Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13)     Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2)      Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler Ă  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a)      Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1)   Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2)   Cape au lait spot (birth mark).
(3)   Fistulae.
(4)   Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5)   Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6)   Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7)   Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b)      Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1)   Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Ă  Normal > 3 detik
(2)   Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3)   Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c)      Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1)      Bayangan jaringan lunak.
2)      Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
3)      Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4)      Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1)      Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2)      Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3)      Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4)      Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b.      Pemeriksaan Laboratorium
1)      Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2)      Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3)      Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
 c.       Pemeriksaan lain-lain
1)       Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2)       Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3)       Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4)       Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5)       Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6)       MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

L.     DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
  1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
  2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
  3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
  4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
  5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
  6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
Description: Description: Stikes01
RENCANA KEPERAWATAN
NO DX
DIANGOSA KEPERAWATAN DAN KOLABORASI
TUJUAN (NOC)
INTERVENSI (NIC)
1
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
NOC
v Pain Level,
v Pain control,
v Comfort level
Kriteria Hasil :
§  Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
§  Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
§  Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
§  Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
§  Tanda vital dalam rentang normal

NIC

Pain Management

§  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
§  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
§  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
§  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
§  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
§  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
§  Kurangi faktor presipitasi nyeri
§  Ajarkan tentang teknik non farmakologi
§  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
§  Tingkatkan istirahat
§  Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
§  Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
2
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
NOC :
v Respiratory Status : Gas exchange
v Respiratory Status : ventilation
v Vital Sign Status
Kriteria Hasil :
§  Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
§  Memelihara kebersihan paru paru dan bebas dari tanda tanda distress pernafasan
§  Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
§  Tanda tanda vital dalam rentang normal
NIC :

Airway Management

§  Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
§  Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
§  Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
§  Pasang mayo bila perlu
§  Lakukan fisioterapi dada jika perlu
§  Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
§  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
§  Lakukan suction pada mayo
§  Berika bronkodilator bial perlu
§  Barikan pelembab udara
§  Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
§  Monitor respirasi dan status O2

Respiratory Monitoring

§  Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
§  Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
§  Monitor suara nafas, seperti dengkur
§  Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
§  Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)
§  Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
§  Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan napas utama
§  auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
3
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
NOC :
v Joint Movement : Active
v Mobility Level
v Self care : ADLs
v Transfer performance
Kriteria Hasil :
§  Klien meningkat dalam aktivitas fisik
§  Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
§  Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
§  Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
Latihan Kekuatan
§  Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin
Latihan untuk ambulasi
§  Ajarkan teknik Ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga.
§  Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker
§  Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.
Latihan mobilisasi dengan kursi roda
§  Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
§  Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
§  Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda
Latihan Keseimbangan
§  Ajarkan pada klien & keluarga untuk dapat mengatur posisi secara mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam aktivitas sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar
§  Ajarkan pada klien/ keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.
§  Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
4
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
NOC :
v Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
§  Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
§  Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan
§  Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
§  Mampumelindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
NIC Pressure Management
§  Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
§  Hindari kerutan padaa tempat tidur
§  Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
§  Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali
§  Monitor kulit akan adanya kemerahan
§  Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan
§  Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
§  Monitor status nutrisi pasien
§  Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
5
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
NOC :
v Immune Status
v Risk control
Kriteria Hasil :
§  Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
§  Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
§  Jumlah leukosit dalam batas normal
§  Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC :
Infection Control (Kontrol infeksi)
§  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
§  Pertahankan teknik isolasi
§  Batasi pengunjung bila perlu
§  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
§  Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
§  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan
§  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
§  Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
§  Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
§  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
§  Tingktkan intake nutrisi
§  Berikan terapi antibiotik bila perlu
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
§  Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
§  Monitor hitung granulosit, WBC
§  Monitor kerentanan terhadap infeksi
§  Batasi pengunjung
§  Saring pengunjung terhadap penyakit menular
§  Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko
§  Pertahankan teknik isolasi k/p
§  Berikan perawatan kuliat pada area epidema
§  Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
§  Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
§  Dorong masukkan nutrisi yang cukup
§  Dorong masukan cairan
§  Dorong istirahat
§  Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep
§  Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
§  Ajarkan cara menghindari infeksi
§  Laporkan kecurigaan infeksi
§  Laporkan kultur positif
6
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
NOC :
v  Kowlwdge : disease process
v  Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
v  Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
v  Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
v  Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
NIC :
Teaching : disease Process
§  Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
§  Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
§  Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
§  Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
§  Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
§  Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
§  Hindari harapan yang kosong
§  Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
§  Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
§  Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
§  Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
§  Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
§  Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
§  Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat












DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.